Thursday, May 24, 2007

dinamika representasi politik publik

"Virtually everywhere today, democracy is taken to be synonymous with some kind of representative system’" (Anthony Arblaster, 1994:79).

Begitulah realitas yang terjadi dalam demokrasi pada saat ini. Demokrasi dimanapun identik dengan sistem perwakilan. Setidaknya, ada dua faktor pendorong untuk memilih sistem perwakilan. Pertama, karena semakin bertambahnya penduduk sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan demokrasi langsung seperti yang terjadi di yunani kuno. Kedua, karena luasnya suatu daerah atau negara yang menganut sistem demokrasi. Pilihan untuk model sistem perwakilan mana yang akan diadopsi oleh suatu negara tentu saja tergantung kepada kebutuhan negara tersebut, bukan pada sikap latah atau ikut-ikutan dengan negara lain. Di indonesia, sistem perwakilan politik dilegitimasi melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kiprah Partai politik di Indonesia
Bila kita kembali mencari akar dari sejarah partai politik, momentum awal itu pada saat Wakil Presiden Moh. Hatta mengeluarkan maklumat nomor X pada tanggal 3 november 1945. Maklumat itu menyebtkan bahwa, “pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran faham yang ada dalam masyarakat”.

Saat ini, sudah 62 tahun partai politik bersama kita. Tentu saja semakin banyak yang berubah apalagi dari segi kuantitas. Sedangkan kualitas, saya tidak bisa menjamin ketika ada yang mengatakan kualitas partai politik yang ada semakin baik.

Untuk mengetahui sejauh mana partai politik telah menunjukan kualitasnya, tentu saja dengan melihat persepsi publik di lapangan. Variabel utama yang diukur adalah tingkat representasi atau keterwakilan suara publik melalui partai politik. Penelitian terbaru pada bulan Maret 2007 yang dilakukan oleh Lingkar Survai Indonesia (LSI), menunjukan 65% persen publik menyatakan bahwa partai politik tidak merepresentasikan aspirasi mereka terhadap berbagai isu publik: posisi kelas sosial partai, isu ideologi dan sistem legal atau hukum, dan isu ekonomi. Itu artinya, hanya 35% aspirasi pemilih yang dipersepsikan terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar yang ada di Indonesia.

Penelitian itu juga menunjukan hanya sekitar 23% dari pemilih yang mengidentikkan diri mereka dengan partai politik tertentu. Artinya, hanya sebanyak 23% dari pemilih yang merasa punya ikatan psiko-politik dengan partai politik. Akibatnya, loyalitas publik terhadap partai politik tidak begitu tinggi dan nantinya akan membuat peta kekuatan partai politik mudah berubah karena tingkat kepastian politik yang ada rendah.

Strategi Partai Politik pada 2009
Pemilu 2009 semakin dekat, hasil penelitian ini sudah cukup untuk menggambarkan partisipasi politik publik pada tahun 2009. Sepertinya, tingkat partisipasi akan cenderung menurun, bila tahun 2004 mencapai 84,07% maka tahun 2009 tidak ada jaminan untuk tetap, apalagi mengalami peningkatan.

Lantas strategi apa yang hendaknya dilakukan oleh partai politik? Secara teoritik, ada dua strategi yang dapat digunakan yaitu strategi ofensif dan strategi defensif (Peter Schroder: 2005). Pertama, strategi ofensif ini selalu dibutuhkan. Strategi ofensif adalah strategi memperluas pasar pemilih dan strategi menembus pasar pemilih yang baru. Strategi perluasan pasar yang ofensif bertujuan untuk membentuk kelompok pemilih baru di samping para pemilih yang telah ada. Oleh karena itu, harus ada penawaran baru atau penawaran yang lebih baik lagi bagi para pemilih yang selama ini memilih partai pesaingnya. Penawaran itu bukan dilihat dari janji-janji politik yang kosong, tetapi penawaran yang dilihat melalui sejauh mana progress atau sisa kinerja sebelumnya yang akan dilakukan setelah pemilu 2009. Tentu saja program kerja yang lansung berdampak kepada publik.
Strategi menembus pasar bukan perihal ditariknya pemilih lawan—pemilih dari partai politik lain—atau warga yang selama ini tidak aktif dengan memberikan penawaran yang lebih baik atau baru, melainkan penggalian potensi yang sudah ada secara optimal, atau penggalian bagian yang dimiliki dalam kelompok target dimana keberhasilan telah diraih sebelumnya. Jadi, investasi yang diutamakan pada strategi ini haruslah dalam bidang kehumasan (public relation).

Kedua, strategi defensif. Strategi yang digunakan ini disebut sebagai strategi mempertahankan pasar. Strategi ini akan muncul kepermukaan dengan sendirinya, misalnya apabila partai pendukung pemerintah atau sebuah koalisi pemerintahan yang terdiri atas beberapa partai ingin mempertahankan mayoritas pemilihnya, atau apabila pangsa pasar pemilih yang ada ingin dipertahankan.. Cara yang digunakan bisa melalui memelihara pemilih yang ada dan memperkuat pemahaman para pemilih musiman (disloyal elector) mereka sebelumnya terhadap situasi yang berlangsung.

Jadi saat ini, tidak ada jalan lain bagi elit partai politik untuk menaikan popularitasnya di mata publik selain membanting stir dan segera merubah haluan mereka sebagai wakil rakyat. Mulai dari sekarang harusnya kembali menanamkan sensitivitas yang tinggi terhadap suara rakyat. Jika tidak, apatisme politik dari publik akan segera meningkat yang mengakibatkan kepercayaan publik (public trust) terhadap partai politik semakin rendah.

Hal itu disebabkan oleh sulitnya untuk mencari pola prilaku pemilih yang ada di Indonesia. Teori yang ada dalam studi politik pun terkadang tidak mampu memprediksikan dengan jelas. Padahal pola itu dibutuhkan untuk mencari format yang relatif baku dalam berdemokrasi di Indonesia, terutama dalam sistem perwakilan politik. Oleh karena itu, di negara ini untuk mencapai demokrasi sejati hanya angan-angan saja. Sehingga para teoritisi politik dan rakyatnya hanya baru bisa mimpi.
***